Tujuan pernikahan bukan untuk mencari kebahagiaan, tapi memberi kebahagiaan kepada pasangan
Masalah pernikahan yang sering terjadi. Apa saja ya? Sangat kompleks ternyata. Namun sebelum berbicara tentang masalah, ada baiknya kita ingat tentang tujuan dari pernikahan itu sendiri. Yeah, menikah bukan lagi bicara tentang diri sendiri. Tapi ada “orang asing” yang masuk ke dalam kehidupan kita.
Bisa jadi, awalnya kita tidak saling mengenal dengan pasangan kita. Lalu berkenalan, saling tertarik. Kemudian keduanya saling sepakat untuk mengenal lebih dalam. Terjalinlah komunikasi yang intens. Kemudian jatuh cinta satu sama lain. Berkenalan dengan keluarga masing-masing dan memutuskan untuk menjalin komitmen dalam pernikahan.
KOMITMEN. Saya menggarisbawahi hal ini karena itulah esensi dari pernikahan. Jika seseorang belum bisa menjalin suatu komitmen, pernikahan akan terasa berat dan menjadi beban karena akan saling mengikat. Yang biasanya sendiri, sekarang harus siap berbagi waktu, tenaga dan juga soal finansial.
Mengapa seseorang setelah menikah bisa berubah? Dulu saat masih pacaran so sweet-nya minta ampun, namun setelah menikah ketahuan sifat yang sesungguhnya. Begini, sebenarnya yang namanya karakter atau sifat dasar manusia itu tidak berubah, saat pacaran yang kita ketahui hanya yang terlihat di permukaan saja.
Maka, ketika kita sudah tinggal serumah, bahkan sehari 24 jam selalu bersama, maka terbukalah semua sifat asli seseorang. Dan berbagai masalah mulai timbul. Ya karena ketika sudah mendapatkan, maka segala tantangan itu sudah hilang dan tak ada yang perlu rahasia lagi.
Berikut ini beberapa masalah yang sering terjadi dalam pernikahan.
Masalah Pernikahan Yang Sering Terjadi Adalah Soal Komunikasi
Dulu, saat pacaran nada bicara pasangan selalu rendah, kadang berbisik-bisik mesra. Karena apa? Karena suasana hati yang dekat satu sama lain. Tak pernah marah, berkata kasar apalagi sampai membentak. Namun setelah menikah kenapa jadi saling berteriak saat bertengkar? Bisa jadi karena hati yang mulai berjauhan.
Pernikahan, kadang hanya terasa indah di awal saja. Setelah itu, adalah proses adaptasi saling mengenal, saling memahami, saling menghargai, dan saling lainnya. Ketika salah satu pasangan mulai mengedepankan egonya, maka segala sesuatu bisa terjadi. Namanya dua orang, pola pikir tak pernah bisa sama. Maka upaya untuk saling bersinergi itu tidak mudah.
Masalah komunikasi ini akan saling menumpuk jika tidak langsung terselesaikan. Dan akan semakin bertambah ketika ada kehadiran buah hati. Memang, susunan otak laki-laki dan perempuan itu berbeda, maka sering terjadi salah paham dalam berkomunikasi antara suami dan istri. Namun, semuanya bisa teratasi dengan saling memahami.
Kalau tujuan pernikahan untuk saling menang-menangan, maka pernikahan itu akan the end. Namun jika ada yang mau mengalah bukan berarti kalah, pernikahan akan ayem tentrem. Lha wong pro kontra itu pasti ada kok, tapi kalau perbedaan menjadi alasan untuk saling melengkapi, maka semuanya akan baik-baik saja. Jangan semuanya ngegas ya!
Finansial Menjadi Masalah Pernikahan Yang Sering Terjadi
Waini, soal cuan bisa menjadi sumber malapetaka. Sebelum menikah, masalah finansial ini harus menjadi pembicaraan. Bukannya matre, tapi ini penting lho! Hellow, kita harus realistis dalam pernikahan. Ada post pengeluaran nantinya. Kalau secara finansial saja belum mapan, bagaimana akan membiayai kehidupan sehari-hari dan kebutuhan hidup lainnya?
Jika suami istri sama-sama bekerja mencari nafkah, bicarakan. Jika akhirnya istri “hanya” menjadi ibu rumah tangga yang full time mengurus pekerjaan rumah tangga, sebaiknya juga harus saling sepakat. Atau gaji istri lebih besar dari suami? Istri bekerja, sementara suami yang menjadi bapak rumah tangga? Apapun itu, diskusikan!
Jangan sampai masalah keuangan ini menjadi sesuatu ganjalan tiada akhir. Istri merasa suami tidak menafkahi, suami merasa tidak perlu memberi nafkah karena istri sudah punya penghasilan, lebih besar lagi! Atau suami yang tak berpenghasilan tetap sejak awal menikah, bisa menjadi bahan pertengkaran utama dalam rumah tangga nantinya.
Percaya nggak percaya, rejeki dalam hidup berumahtangga itu bisa dari suami atau istri. Maka hendaknya pasangan saling mendukung, saling support satu sama lain. Jika rejeki istri lebih besar, suami tak perlu insecure dan istri tidak boleh meremehkan suami. Keduanya harus bersyukur dan mengelola berapapun penghasilan secara bijak.
Perbedaan Kebiasaan
Istri seringkali melihat handuk basah di kasur. Atau tatanan baju di lemari jadi amburadul. Ulah siapa? Siapa lagi kalau bukan suaminya sendiri. Alhasil, istri sering ngereog, uring-uringan, marah-marah tak jelas yang membuat suasana rumah tangga makin panas. Suami yang tak menyadari dirinya sebagai biang keladi, tetap kalem tanpa rasa bersalah.
Yup, soal kebiasaan ini bisa jadi boomerang. Meskipun sebenarnya sepele, namun jika tidak ada pembicaraan soal ini, ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan-kapan. Maka lebih baik bicarakan dari hati ke hati dengan pasangan soal ini. Bilang saja saya keberatan dengan hal ini. Lalu buat aturan bersama yang perlu ditaati.
Bisa jadi latar belakang keluarga masing-masing memang sudah berbeda sejak awal. Yang satu terbiasa hidup teratur, rapi dan tidak suka berantakan sedangkan yang satu lagi lebih bersifat praktis. Yang satu maunya rumah terlihat selalu rapi, sedangkan satunya menganggap beres-beres rumah merupakan pekerjaan yang membosankan dan cukup berkala saja.
Maka dalam hal ini, perlu adanya kesepakatan sebagai titik temu demi kebaikan bersama. Mungkin bisa dengan jalan saling berbagi tugas, lalu saling memberikan reward berupa pujian atau hadiah dan punishment jika ada yang tidak tertib. Saling bertanggungjawab menjadi dasar kesepakatan ini.
Pola Asuh Anak Menjadi Sebab Masalah Pernikahan
Sang ayah bersifat otoriter, sang ibu lebih lemah lembut dalam mendidik anak. Perbedaan dua sifat ini bisa saling melengkapi asalkan porsinya pas tanpa harus membuat anak bingung. Karena memang tidak harus mendidik anak dengan kekerasan, namun perlu ketegasan. Anak pun memerlukan ekspresi kasih sayang dengan kelembutan.
Namun seringkali, karena egonya yang tinggi ayah begitu keras pada anak, tanpa memperhatikan kesehatan mental anaknya. Serba salah juga sebenarnya soal pola asuh ini. Penginnya sih punya anak itu yang tahan banting, memiliki daya juang, berkarakter tapi kalau tidak secara tegas, anak bisa jadi lembek.
Namun jika terlalu permisif dan lunak, anak jadi mudah mengeluh, kurang daya juangnya dan tidak terbiasa menghadapi tantangan hidup yang semakin berat. Alasannya demi kesehatan mentalnya. Generasi Z saat ini terkenal dengan nama generasi strawberry. Yang luarnya bagus, namun mudah retak jika terjatuh.
Maka soal pola asuh anak ini ayah dan ibu harus berdiskusi supaya sinkron.Komunikasi yang baik adalah koentji agar cara mendidik anak dapat berjalan dengan baik. Karena memang tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua, namun semua bisa mempelajarinya dengan banyaknya informasi secara online ataupun offline saat ini.
Masalah Pernikahan Yang sering Terjadi Antara Mertua, Ipar dan Pasangan
Beruntunglah jika memiliki mertua, ipar dan keluarga besar dari pihak suami atau istri yang baik dan saling menghargai. Namun jika semuanya baik, rasanya mustahil ya. Karena dalam hidup ini, tak mungkin semua orang menyukai kita. Selalu ada pro dan kontra. Namun setidaknya, jumlah yang menyukai lebih banyak daripada yang membenci.
Karena hakekatnya, tujuan pernikahan tidak hanya menikahi pasangan kita saja, namun harus bisa menerima keluarga besarnya juga, terlebih keluarga intinya. Seringkali karena miskomunikasi, iri hati dan persaingan, konflik bisa terjadi antara anak, menantu, mertua dan ipar. Tak jarang sampai berakhir pada (amit-amit) perceraian.
Maka, hubungan antar individu dengan pasangan dan keluarganya, sebaiknya sesuai dengan porsinya masing-masing. Secukupnya saja, jangan terlalu dekat namun jangan terlalu jauh juga. Sekedar mengikat tali silaturahmi, saling menghargai dan saling menghormati. Hukum sebab dan akibat selalu berlaku.
Kalau kita baik, orang lain juga akan baik juga kepada kita. Istilahnya dalam bahasa Jawa, ojo njiwit nek ora pingin dijiwit. Yang artinya jangan mencubit jika tak ingin dicubit. Apalagi ketika menjalin relasi dengan keluarga pasangan yang notabene sudah menjadi bagian dari keluarga, maka hubungan baik harus terjaga agar tidak timbul masalah dalam pernikahan.
Rasa Jenuh
Rutinitas yang itu-itu saja tanpa adanya variasi bisa membuat rasa jenuh melanda. Sebenarnya rasa bosan atau jenuh itu bersifat manusiawi ya, namun dalam ikatan pernikahan kita harus bisa mengantisipasi akan hal itu. Ibarat tanaman yang harus selalu kita rawat dan beri pupuk, demikian juga dengan rasa cinta dengan pasangan.
Mungkin seiring dengan berjalannya waktu, ekspresi cinta sudah tidak menggebu-gebu seperti saat masih menjadi pengantin baru, namun bagaimana cara kita untuk bisa tetap bertahan. Mempertahankan rasa cinta dalam komitmen pernikahan itu tidak mudah namun dapat kita upayakan. Rasa jenuh harus teratasi jangan sampai berlarut-larut.
Saat ini, bisa jadi kita menganggap suami sudah seperti teman, sahabat, bahkan anak dengan sikapnya yang mulai berubah. Dulu sangat perhatian, sekarang mungkin sudah berkurang perhatiannya karena kesibukan. Maka sempatkan luangkan waktu untuk melakukan banyak hal seperti masa dulu di awal pernikahan.
Quality time berdua saja dengan pasangan itu sangat perlu. Sesekali bolehlah menitipkan anak pada eyangnya agar kita bisa pacaran dengan suami. Ya, sekedar boncengan motor berdua ke alun-alun kota melihat suasana, berbincang dari hati ke hati lalu pulangnya mampir beli seblak sudah bisa membuat hubungan hangat kembali.
Hubungan Intim
Waini, inti dari pernikahan adalah ini. Sifatnya penting namun bukan yang utama juga. Hubungan suami istri menjadi kewajiban sebagai bentuk nafkah batin kepada suami atau istri. Sudah sah gitu lho, dan hukumnya wajib untuk melakukan hubungan intim dengan pasangan resmi. Hal ini bisa menjadi perekat atau bonding hubungan dalam rumah tangga.
Kalaupun tidak bisa sesering dahulu, perlu banget mengutamakan kualitas hubungan. Selain dapat meningkatkan hormon endorfin yang dapat membuat rasa senang, nyaman, tentram, bahagia, hubungan seksual dengan pasangan dapat menyehatkan jiwa dan raga. Dapat menjaga hubungan suami istri selalu harmonis dan jauh dari masalah pernikahan.
Komunikasikan dengan pasangan soal hubungan intim ini. Pastikan keduanya saling take and give, sama-sama menikmati jangan sampai ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Jadikan momen ini sebagai peristiwa yang paling menyenangkan dan saling membahagiakan satu sama lain dengan tulus ikhlas tanpa ada yang merasa terpaksa.
Jangan sampai rasa tidak puas dalam hubungan intim menjadi alasan pasangan untuk berpaling kepada orang lain. Banyak kasus terjadinya perselingkuhan dalam pernikahan karena alasan intern yang seharusnya tidak perlu diumbar. Soal ini, kembali kepada komitmen pernikahan masing-masing dalam menjaga kesetiaan pada pasangan.
Pembagian Tugas Rumah Tangga
Siapa yang di rumah ada pembagian tugas yang jelas antara suami dan istri? Meskipun tugas utama suami adalah mencari nafkah, namun tetap ada kewajiban untuk membantu istri melakukan tugas dalam rumah tangga. Maka pembagian tugas rumah tangga itu perlu juga menurut saya. Supaya sama-sama adil.
Pekerjaan rumah tangga itu banyak dan tiada habisnya lho! Apalagi kalau tidak punya Asisten Rumah Tangga (ART). Istri tak akan sanggup mengerjakan semua tugasnya sendiri meskipun “hanya” berperan sebagai seorang Ibu Rumah Tangga (ART). Maka alangkah bijaknya jika suami pun turut membantu tugas rumah tangga sepulang bekerja.
Ya, sekedar mencuci piringnya sendiri, menyapu rumah atau ikut momong si Kecil. Boleh banget lho suami membantu untuk mengurangi kerepotan istri. Nanti kalau istrinya sakit karena kelelahan, siapa yang repot? Suami juga kan? Nggak ada yang mengurus urusan logistik dan lain sebagainya kan bisa runyam.
Maka bicarakan soal pembagian tugas rumah tangga ini sesuai kesepakatan bersama secara adil dan bijaksana. Saling memahami dan pengertian satu sama lain lah pokoknya. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Apalagi kalau sang istri juga bekerja di luar rumah untuk membantu mencari nafkah suami dan posisi ada anak kecil.
Jelas harus ada pembicaraan yang matang tentang hal ini. Urusan makan di rumah bagaimana, siapa yang mengurus anak termasuk urusan antar jemput anak sekolah jika anaknya sudah sekolah. Orangtua boleh sama-sama sibuknya bekerja di luar rumah, namun urusan anak harus menjadi prioritas yang utama.
Penutup
Nah, uraian diatas adalah bahasan tentang masalah pernikahan yang biasanya terjadi dalam rumah tangga. Mungkin ada yang sering mengalaminya? Atau malah tidak ada masalah sama sekali? Lancar jaya selalu, hehe! Namanya rumah tangga yang terdiri dari beberapa anggota keluarga dengan pola pikir yang beda-beda, wajar ada perbedaan.
Semua tergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Seseorang yang sudah siap untuk menikah, berarti harus sudah siap berbagi hidup dan kebahagiaan dengan keluarga barunya. Pastikan diri sendiri sudah selesai dengan dirinya dan berbahagia, sehingga sudah siap membahagiakan pasangan.
Setelah keduanya sama-sama bahagia, maka otomatis sudah siap melimpahi kebahagiaan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Pernikahan adalah momen sakral yang wajib kita junjung tinggi ikrar pernikahan dan komitmen hidup bersama. Sekali seumur hidup hingga maut memisahkan.
Semoga selalu berbahagia dengan pasangan masing-masing dan hidupnya selalu berwarna, ya Mom! Don’t worry, be happy!
Setiap rumah tangga itu punya masalahnya masing-masing, makanya kita tidak boleh menjudge begitu saja kalau dengar curhatan teman soal rumah tangganya.
Tapi masalah awam yang paling sering kudengar sih soal komunikasi dan finansial sih.
Betul sekali mba. Setiap rumah tangga punya problematikanya masing-masing..
Sepakat dg semua yg ditulis mba.. Pernikahan isinya memang beragam ya mbaa, ga mungkin cuma manis tok kayak jaman pacaran.
Yg saya pelajari dr pernikahan, ujian pernikahan itu datang dari segala arah tapi saat suami istri memiliki ikatan yg kuat maka segala badai ibaratnya sanggup diterjang. Sebaliknya, jika tidak kuat maka hambatan sekecil apapun kadang bisa merusak.
Dan untuk memiliki ikatan yg kuat perlu rasa cinta dan saling, pokoknya saling saling saling wkwkk karena kita menikah dg orng yg pasti ga sempurna.. Buat saya, selama kekurangan suami bukan hal prinsip dan sama2 mau mengupayakan untuk berubah, its ok mbaaa.. Haha..
Iyess, sepakat mba. Harus saling saling dan punya komitmen bersama yang kuat.. 🙂
Dari sekian banyak poin-poin yang dituliskan di tulisan ini, mungkin soal anak masih belum dapat dimengerti, karena belum memiliki anak.
Tapi memang benar sekali, komunikasi yang buruk antar pasangan di dalam keluarga bisa menjadi sumber masalah dan kesalahpahaman yang terjadi, apalagi ditambah dengan permasalahan ekonomi dan campur tangan mertua yang terlalu jauh, bisa sungguh merumitkan suasana rumah tangga.
Nah, itu dia. Komunikasi yang baik adalah koentji terciptanya hubungan yang sehat..
Siap berumah tangg bermakna sudah siap dengan segala tantangan yang datangnya bertubi-tubi. Rasanya, proses adaptasinya seumur hidup. Sudah begitu, bukan hanya urusan dua orang saja. Ada mertua dan ipar juga yang kadang ikut serta.
Yup, betul. Harus adaptif dalam segala situasi terburuk sekalipun..
Masalah rumah tangga yang berlarut-larut dan gak terselesaikan dengan bijak ini bagaikan bom waktu. Tik-tok-tik-tok..
Aku rasa setiap rumahtangga pasti mengalami masa-masa seperti ini yaa.. Ujian bisa datang dari anak, suami, orangtua, saudara kandung, saudara ipar sampai tetangga.
Ya Allaah..
Yang paling gemes kalau usia pernikahan uda lama tuh memang komunikasi. Ada rasa kita uda paham banget nih sama maunya pasangan, padahal mah.. ilmu tebak-tebak buah manggis ini gak berlaku karena yang namanya beda kepala, beda juga maksudnya.
Usia pernikahan gak menjamin harmonisasi rumahtangga, memang.
Kudu banyak-banyak berdoa sama Allah semoga dimudahkan, dilancarkan dan ditenangkan dalam banyak hal.
Yup betul, harus saling memahami dan peduli, kalo masing-masing mengedepankan ego, weh..bisa ambyar..