Pertama bagiku bisa menyaksikan bulan bersama suami dan anakku. Biasanya aku menyaksikan sendiri bulan-bulan yang lain dari bulan sabit, bulan setengah lingkaran dan bulan purnama. Dan pertama bagiku menyaksikan bulan dalam jeda waktu yang cukup lama. Biasanya aku hanya tengadah, melihat bulan di atas sana dan bergumam,”Oh..ada bulan..” Lalu masuk ke dalam rumah dan tidak keluar lagi untuk menyaksikannya.
Pertama pula bagi suamiku melihat bulan bersama istri dan anaknya. Biasanya dia hanya menatap sekilas seperti yang biasa aku lakukan. Dan sudah pasti, pertama pula bagi anakku yang menjelang tiga tahun usianya melihat bulan. Dia terbiasa melihat bulan-bulan sabit di malam-malam yang lalu tapi tidak selama malam ini.
“Itu bulannya gede banget..Andro mau pergi ke bulan..”, kalimat pertama Andro muncul diantara hening kami menyaksikan bulan.
“O,ya..Andro mau ? Naik apa nak ?”
“Naik pesawat..”
“Besok kalau Andro sudah gede ya..nanti di bulan mau ngapain ?”
“Mau main-main aja..”
Kita bertiga tertawa. Sungguh, kebersamaan ini terasa indah adanya. Menyatukan rasa kagum yang sama akan keindahan langit di malam hari.
“Itu ada bintang..banyak..,” pandangan Andro beralih dari bulan. Mata kami ikut mencari-cari.
“Iya..banyak sekali ya bintangnya..indah..kerlip-kerlip..”
Mata Andro berkedip-kedip, takjub menatap ribuan bintang yang bertebaran di langit sana.
“Bintang kecil..di langit yang biru..amat banyak, menghias angkasa..aku ingin..terbang dan menari..jauh tinggi ke tempat kau berada…”
Andro menyanyi diiringi tepukan tangan dari bapak ibunya. Bangga..
“Oh..itu ada pesawat…,” Andro berteriak lagi..
Memang benar, ada pesawat yang melintas. Mungkin itu pesawat terakhir yang terbang hari ini. Sinar lampunya kerlap-kerlip membelah kegelapan malam.
Aku sejenak terdiam. Berpikir jawaban apa yang masuk akal untuk kuberikan..
“Sepertinya tidak sayang..itu pesawat komersil yang akan mendarat di bandara..”
“Kenapa tidak ke bulan ?”
“Bulan itu jauh sekali sayang, kalau pakai pesawat biasa tidak akan mungkin sampai ke sana, harus dengan pesawat yang khusus..”
“Mama..bulannya hilang..pergi kemana ya ?”
Awan gelap menyelimuti. Bulan tertutup awan.
“Bulannya ketutup awan..”
Aku teringat, biasanya malam bulan purnama begini ada pertunjukan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Masih adakah pertunjukan itu ? Mungkin saja, tapi aku belum pernah menyaksikannya secara langsung.
Saat-saat seperti ini, aku juga teringat akan lagu dolanan bocah tradisional Jawa, Padhang Bulan..
Yo prakanca, dolanan neng njaba..
(Ayo teman bermain di halaman )
Padang bulan, bulane kaya rina..
( Terang bulan, bulannya seperti siang..)
Rembulane..ne..sing ngawe-awe..
( Rembulannya..nya..memanggil-manggil..)
Ngelikake ojo pada turu sore..
(Mengingatkan jangan tidur sore-sore )